Kegiatan yang dihadiri oleh 80 peserta tersebut, bertujuan untuk memberikan wadah pertukaran informasi antar stakeholder mangrove di berbagai wilayah, khususnya di tiga benchmark, yaitu Banten, Demak dan Banyuwangi.
Kegiatan tersebut juga bertujuan sebagai wadah pemamaparan hasil riset mengenai kemampuan mitigasi, adaptasi, nutrisi, mata pencaharian dan jejaring komunikasi para stakeholder mangrove di tiga wilayah tersebut.
Dra. Peni Rahayu, M.Si. selaku perwakilan dari Gubernur Jawa Tengah dalam sambutannya menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 2017 sampai 2020, mangrove di Jawa Tengah telah banyak mengalami degradasi. Hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama, agar semua pihak dapat bekerja sama mengembalikan kondisi mangrove seperti sedia kala.
“Kegiatan rehabilitasi mangrove bersifat kesatuan lanskap, artinya penerjemahan dari Integrated Coastal Management itu harus memperhatikan ekosistem lain di sekitar mangrove,” ujar Dr. Rudhi Pribadi (UNDIP), selaku moderator lokakarya.
Prof. Daniel Murdiyarso selaku peneliti senior CIFOR menyebutkan bahwa konservasi lebih efektif dibandingkan rehabilitasi dalam konteks perubahan iklim. Maka dari itu, sebaiknya pemerintah dapat menggencarkan perlindungan kepada ekosistem mangrove secara utuh dan menyeluruh.
Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Sc (Badan Restorasi Gambut dan Mangrove - BRGM), selaku pembicara mengatakan bahwa Kesatuan Lanskap Mangrove (KLM) harus mempertimbangkan kesesuaian habitat mangrove dengan sistem lahan tertentu yang berdasarkan pada kondisi pasang surut dan substrat lahan.
"Sebanyak 119 unit lanskap menjadi sasaran rehabilitasi mangrove dengan luas total mencapai 750.000 ha," katanya. "Strategi rehabilitasi mangrove tidak hanya mempertimbangkan kondisi lingkungan saja, namun juga pada ketersediaan lahan yang aman sebagai lahan konservasi," terangnya lebih lanjut.
Pada saat tanya jawab, Ropin (Pengelola Ekowisata Jembatan Pelangi, Lontar) menyebutkan bahwa kelompok masyarakat kesulitan dalam melakukan penanaman, karena lahan yang belum memiliki payung hukum sebagai lahan konservasi.
Para pembicara diskusi panel, yaitu Fegi Nurhabni, S.T., M.T., M.Sc. (Kementerian Kelautan dan Perikanan - KKP), Apri Susanto Astra (Yayasan Lahan Basah - YLB), Ervina Wahyu Setyaningrum, S.Pi., M.Si. (UNTAG Banyuwangi), Dr. Etika Ratna Noer, S.Gz., M.Si. (UNDIP) dan Mashadi (Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan Pesisir - KMPHP Mangrovesari, Brebes).
Dr. Etika Ratna Noer, S.Gz., M.Si. (UNDIP), selaku pemateri menginformasikan bahwa kerusakan mangrove yang ada di Demak khususnya, telah mengubah persepsi mengenai pekerjaan yang cocok bagi masyarakat di sana.
“Perubahan mata pencaharian nelayan menjadi buruh pabrik dirasa lebih menjanjikan, karena berkurangnya hasil perikanan akibat kerusakan mangrove,” kata Dr. Etika.
Setelah sesi diskusi panel, kegiatan dilanjutkan dengan sesi pemaparan hasil riset oleh IKAMaT dan CIFOR.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan, perubahan iklim telah terjadi secara jelas di Demak dan Banten.
Para pembicara pada sesi ini, yaitu Trialaksita Sari Priska Ardhani (CIFOR), Phidju Marrin Sagala (CIFOR), Mulia Nurhasan (CIFOR) dan Ganis Riyan Efendi (IKAMaT).
“Eksisting mangrove terancam dengan adanya kenaikan muka air laut. Hal tersebut diperparah lagi dengan terjadinya penurunan tanah di wilayah Wedung dan Sayung, Demak,” ujar Trialaksita Sari Priska Ardhani (CIFOR).
Sementara itu, berdasarkan hasil riset Coastal Vulnerability Index (CVI) menunjukkan hasil bahwa angka kerentanan pesisir Demak, Banten dan Banyuwangi secara berurutan memiliki kerentanan yang rentan hingga tidak rentan.
"Berdasarkan hasil riset yang kami lakukan di Demak dan Banyuwangi, lebih dari 85% masyarakat bermatapencaharian utama sebagai nelayan," jelas Mulia Nurhasan. “Jumlah konsumsi ikan dan hewan air selain ikan (HASI) sudah cukup tinggi, dengan asal tangkapan dari keluarga sendiri. Hampir 50% responden di kedua lokasi berpendapat bahwa ketersediaan SDA berkurang dalam 15 tahun terakhir,” tambahnya.
Ganis Riyan Efendi menambahkan bahwa pembuatan jejaring yang terintegrasi sebagai wadah komunikasi pengelolaan mangrove di Indonesia sangatlah penting.
"Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan ekowisata mangrove dan pengolahan produk mangrove non kayu akan dapat lebih optimal apabila kita memiliki jejaring yang kuat,” terangnya. "Sebagai contoh, kami memiliki relawan mangrove yang tersebar di 12 kota di Indonesia, walaupun berjauhan karena tersebar di seluruh Indonesia, komunikasi kami tetap solid karena adanya sistem jejaring yang baik," terangnya lebih lanjut.
Kegiatan ditutup oleh Dadang Somantri, ATD, MT, selaku Kepala Biro Infrastruktur dan Sumber Daya Alam (BIROISDA), Sekretariat Daerah, Provinsi Jawa Tengah.
Keseluruhan kegiatan yang dimulai dari pukul 08.00 - 15.30 WIB berjalan dengan baik, lancar dan meriah. Banyak informasi baru yang berhasil dipaparkan oleh IKAMaT dan CIFOR kepada para penggiat mangrove di tiga benchmark.
"Saya berharap, dengan kegiatan ini, dapat mengubah persepsi masyarakat dan pemerintah daerah agar kita dapat melakukan pengelolaan mangrove yang lebih baik lagi di masa mendatang," kata Bagus R. D. Angga (IKAMaT). "Kami juga sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga lokakarya ini berlangsung dengan sukses," pungkasnya. (ADM/FAN).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar